Antara Mengajar dan Mendidik
![]() |
Sumber : Internet |
Pagi ini mentari meluncur seperti
biasanya, menandakan dehidupan akan mulai ramai di sesaki beragam orang
menjalankan aktifitas seperti biasanya. Sejuk angin pedesaan pun memanjakan
paru-paru dengan kesegarannya, dihiasi kicau burung yang lalu lalang mencari
makan untuk sekadar menyambung hidupnya hari itu juga.
“Zaaaalll abis ini tolong cuciin
pakaian ibu ya…” titah Bu Nisa kepada anaknya. Seperti biasanya setiap pagi
Rizal mengerjakan pekerjaan rumah setelah bangun shalat subuh bersama kakak dan
adik adiknya. Rizal merupakan anak ke 3 dari 4 bersaudara, ia mempunyai
kakaknya yang pertama tidak di rumah karena sudah masuk pondok pesantren sehaun
dua tahun yang lalu. Jadi beban pekerjaan rumahnya makin bertambah semenjak kakanya
pergi ke pondok.
“Iya buu, nanti Rizal cuciin,” sahut Rizal sambil terus menyapu
halaman depan rumahnya yang dipenuhi dedaunan yang jatuh tertiup angin. “Belum
kelar udah nyuruh lagi aja, tiap hari harus matiin lampu, bukain gordeng, nyapu
halaman, cuci piring, aku ini kan cowo masa dikasih kerjaan cewe kaya gini,”
umpat Rizal dalam hati.
Setelah menyapu halaman Rizal pun
mencuci piring dan peralatan masak yang kotor, setelah itu baru dia bersiap
untuk mandi. Sebelum mandi Rizal pun harus mengambil air dulu di sumur karena
di rumahnya waktu itu belum ada sanyo untuk memompa air. Setelah bak terisi
penuh barulah ia dan kakanya bisa mandi dengan agak mengirit air.
“Zal cepetan mandinya, udah
hampir jam tujuh nih, nanti kamu telat,” ucap Bu Nisa kepada anaknya yang masih
asik di dalam kamar mandi. “Iya Buuu bentar lagi, ini lagi sikat gigi dulu,”
jawab Rizal dari kamar mandi. “Cepet, cepet, ini juga kan telat karena di suruh
ini itu dulu,” umpat Rizal dalam hati.
Setelah memakai seragam dan
sarapan, Rizal pun berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Sekolahnya memang
tidak begitu jauh jika ditempuh dengan kendaraan, hanya berjarak 3 kilo meter
dari rumahnya. Karena sudah terbiasa berjalan kaki, ia pun tidak merasa cape
karena sambil berjalan pun ia diselingi candaan dengan teman sebayanya.
“Zal main bola yuuu,” ajak teman
kelasnya ketika bel tanda istirahat mulai berbunyi. “Engga ah kayaknya mau
tidur aja, kecapean nih tadi pagi harus bolak-balik ngangkutin air dari sumur,”
tolak Rizal sambil menutup mulut yang menguap. “Makanya beli sanyo biar gak
cape bolak-balik ke sumur,” ketus temennya sambil berlari meninggalkan kelas.
“Zal Zal bangun, udah ada guru
tuh “ tak terasa jam istirahat pun sudah selesai namun kantuk masih menyelimuti
mata Rizal. “Kamu tidur lagi Zal ? kayaknya kecapean banget emang ngapain aja
di rumah ?” tanya guru yang melihatnya baru bangun dari tidurnya. “Iya Bu Eti,
sebelum berangkat sekolah saya beres-beres rumah dulu bu,” jelas Rizal pada
gurunya. “Emang ibu kamu gak beresin rumah sendiri ?” tanya Bu Eti. “Ibu saya
nyiapin sarapan aja bu, yang ngerjain pekerjaan rumah saya sama sodara saya,
kita bagi tugas bu,” papar Rizal.
Bu Eti merupakan guru sekaligus
tetangga bagi Rizal, tiap pagi pun Bu Eti sering melihatnya menyapu halaman rumah.
Ia pun memiliki anak yang kebetulan sekelas dengan Rizal namanya Randi, ia
merasa kasian melihar Rizal diperlakukan sebagai pembantu di rumahnya sendiri
akhirnya ia memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya Rizal.
Setelah mengetuk pintu dan memberi
salam Bu Eti memulai pembicaraan, “Bu Nisa, tadi pas saya ngajar saya liat anak
Ibu, Rizal, terlihat lelah sekali di sekolah sampai jam istirahat aja dia
gunakan untuk tidur. Apa gak kasian tiap pagi Rizal dipekerjakan kaya gitu ?”
ucap Bu Eti dengan seragam guru yang masih lengkap dipakainya. “Apa itu
menggangu belajarnya Bu Eti ?” tanya Bu Nisa. “Engga sih, cuman kasian aja liat
anak kecil gitu udah mulai dikasih kegiatan pagi-pagi gitu,” jawab Bu Eti. “Ya
kalau gak mengganggu gak apa-apa lah, kirain mengganggu pelajarannya gitu,”
jawab Bu Nisa dengan nada tenannya. “Tapi Bu, kasian dia masih kecil,” Bela Bu
Eti. “Tugas Bu Eti didik aja Rizal di sekolah dengan benar, kalau Rizal ada
masalah di sekolah baru bilang saya. Kalau di rumah biar saya saja yang urus,”
Tukas Bu Nisa sedikit menjelaskan.
Dengan sedikit kesal akhirnya Bu
Eti pun meninggalkan rumah Bu Nisa dan mulai masuk ke rumahnya, ia masih
dongkol dengan jawaban Bu Nisa. Ia heran kenapa Bu Nisa tega mempekerjakan
anaknya seperti pembantu. Padahal anaknya sendiri pun tidak ia pekerjakan
seperti itu, malah ia melarang anaknya mengerjakan pekerjaan rumah, ia sering
mengerjakan semuanya sendiri mulai menyapu, mencuci piring, menyiapkan sarapan
semuanya bisa ia kerjakan sendiri. “Dasar orang tua malas,” umpatnya dalam
hati.
“Riaaal sini nak, tadi Bu Eti
bilang katanya kamu ngantuk di sekolah, kamu kecapean ?” tanya Bu Nisa ke
anaknya. “Tadi pas jam istirahat aja sih bu sempet tidur,” jawab Rizal.
“Yaudah, nanti yang ngangkutin air biar kakakmu aja, biar kamu ngerjain
pekerjaan yang ringan dulu,” jawab Ibunya memberi solusi.
“Dengar nak, ibu bukan tidak
mampu mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, semuanya bisa ibu kerjakan,
gampang aja buat ibu sebenarnya. Cuman ibu pengen kamu belajar mandiri,
sedikit-sedikit belajar mengurus diri sendiri. Suatu saat nanti kamu akan tau
sendiri,” jelas Bu Nisa kepada anaknya.
Sejak pembicaraan bersama ibunya
itu, Rizal sedikit lebih bersemangat mengerjakan pekerjaan rumah bersama kakak
dan adiknya. Jika telah menyelesaikan pekerjaannya ia membantu kakaknya
mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Hingga beranjak dewasa ia pun akhirnya
mengerti perkataan ibunya tempo hari, bahkan ia sangat berterimakasih atas
didikan ibunya itu. Saat di perantauan
manfaat itu semakin dirasakannya, waktunya tidak dibiarkan terbuang sia-sia ia
harus mengisinya dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
Saat mudik lebaran, semua
keluarga berkumpul tanpa di suruh pun semua anak-anak yang sebagian sudah
berkeluarga pun gotong royong mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa. Mereka
tidak membiarkan orang tuanya mengerjakan pekerjaan rumah. “Biar kami aja yang
kerjain bu, Ibu dan Bapak duduk aja,” kata anak-anak Bu Nisa.
Bu Eti pun akhirnya mengerti
kenapa Bu Nisa mempekerjakan anak-anaknya mulai dari hal kecil. Ia iri dengan
keluarga Bu Nisa yang begitu kompak mengerjakan pekerjaan rumah. Bu Nisa dan
suaminya terlihat santai menikmati hari kemenangannya, sementara ia harus repot
menyiapkan semua makanan dan pekerjaan rumah yang masih menumpuk dengan cucian
bekas sanak saudara yang berkunjung. Anak-anaknya hanya mengobrol dan sibuk
dengan obrolannya masing-masing, membiarkan ibunya mengurus rumah sendiri.
Comments
Post a Comment